Nama Soenarto barangkali banyak masyarakat Grobogan saat ini yang tidak (lagi) mengenalnya. Padahal Soenarto merupakan Bupati Grobogan yang menjabat cukup lama. Ia memiliki kiprah serta jasa besar dalam meletakkan pondasi pembangunan di Kabupaten Grobogan pada awal abad ke-20.
Soenarto merupakan salah satu Bupati Grobogan. Jika dihitung sejak Adipati Martopuro atau Adipati Puger diangkat oleh Susuhunan Amangkurat IV sebagai Bupati Grobogan yang pertama pada tahun 1726, maka Raden Ario Soenarto merupakan bupati ke-14. Namun, jika dihitung sejak masa perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan Grobogan ke Purwodadi pada 1864, ia adalah bupati keempat.
Tokoh yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto itu wafatnya dimakamkan di Makam Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi, Grobogan.

Sebelum diangkat menjadi Bupati Grobogan, pria kelahiran 1887 itu merintis karir dengan beragam tingkatan jabatan. Sejak dari menjadi juru tulis, mantri polisi, asisten-wedana, hingga menjadi wedana. Koran De Locomotief edisi 5 Januari 1933 mencatat, Soenarto pernah menjadi juru tulis di Purwodadi pada 1892 sebelum akhirnya dipindah ke Kabupaten Semarang enam tahun kemudian.
Setelah tak lagi menjadi juru tulis, pada 1902 Sunarto sempat diangkat menjadi mantri polisi dan di tahun yang sama diangkat menjadi asisten-wedana Kecamatan Srondol. Pada 1903, Soenarto menjadi asisten-wedana di Weleri, Kendal. Lalu tahun berikutnya bertugas di Kebonbatur, dan baru diangkat menjadi wedana di Singen Lor, Semarang pada 1906. Hingga kemudian Soenarto diangkat menjadi Bupati Grobogan pada 1909 berdasarkan versi De Locomotief. Atau tahun 1908 jika mengacu pada versi Pemerintah Kabupaten Grobogan melalui situs resminya, www.grobogan.go.id.
Soenarto menjadi bupati Grobogan menggantikan pamannya, Adipati Ario Haryokusumo. Soenarto purna tugas sebagai bupati tahun 1933. Dengan demikian, bila merujuk pada data De Locomotief, maka Soenarto menjabat selama 24 tahun. Adapun bila berpedoman pada data Pemerintah Kabupaten Grobogan, maka Soenarto menjabat selama 25 tahun.
Menggagas Trilogi Pembangunan Desa Saat menjadi Bupati Grobogan, Soenarto menunjukkan kinerja yang baik bahkan mewariskan gagasan yang monumental. Salah satu warisan intelektualnya yang populer adalah “Trilogi Pedesaan” atau “Trilogi Pembangunan Desa”. Kunci gagasan ini di setiap desa harus ada sekolah desa, balai desa, dan lumbung desa. Gagasan ini boleh dibilang merupakan ide brilian pada zamannya.
Menurut Muhadi, pendiri objek wisata akulturasi Jawa-Bali, Candi Joglosemar, Bupati Ario Soenarto memiliki peran yang sangat besar, khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah Jawa—terkhusus lagi Grobogan. Ia merupakan penggagas pentingnya kekuatan ketahanan pangan sebagai salah satu penopang kesejahteraan masyarakat. Ia mencetuskan trilogi pembangunan saat melihat Grobogan pernah dilanda kekeringan yang sangat panjang hingga menjadi pagebluk dan menewaskan warga Grobogan dari sekitar 90 ribu jiwa menjadi hanya 8 ribu jiwa.
Pagebluk itu, menurut Muhadi, menjadikan Bupati Ario Soenarto berpikir untuk menciptakan sebuah kekuatan masyarakat dalam hal ketahanan pangan. Dan tidak hanya itu, tetapi juga ditopang dengan pengembangan sumber daya alam dan manusia dengan membuat konsep lumbung pangan, sekolah, juga tata pemerintahan yang terintegrasi di wilayah masing-masing.
Sementara itu jurnalis Republika, Priyantono Oemar, dalam sebuah artikel menyatakan saat menjadi camat atau asisten wedana di Weleri, Soenarto telah mengenalkan gagasannya tentang lumbung desa dalam rangka mengantisipasi datangnya paceklik. Dengan adanya lumbung desa itu, para petani memiliki tabungan padi ketika mereka gagal panen. Padi di lumbung itulah yang kemudian dipakai untuk menghadapi masa paceklik. Gagasan tentang lumbung desa itu kemudian ia bawa dan terapkan ketika menjadi bupati Grobogan. Program lumbung desa yang ia cetuskan tidak hanya memperbaiki ketahanan pangan masyarakat desa, tetapi juga memperbaiki perekonomian desa.
Pada perkembangannya, lumbung desa yang digagas oleh Soenarto berfungsi untuk menyimpan padi dan uang. Saat Soenarto purna tugas sebagai bupati, setidaknya di setiap desa ada uang tunai dua juta gulden. Selain lumbung desa, Soenarto juga menggulirkan gagasan dan program sekolah desa sejak awal ia diangkat menjadi bupati. Bukan pekerjaan gampang mengembangkan sekolah desa pada masa itu, karena anak-anak desa terbiasa membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah. Sehingga saat masa tanam dan panen tiba, mereka memilih tidak masuk sekolah.
Namun, berkat tangan dinginnya sekolah desa cukup berkembang dengan menggembirakan. Data menunjukkan di akhir jabatannya pada 1933, dari 142 desa yang ada di Kabupaten Grobogan, sudah ada 136 desa yang memiliki sekolah desa. Selain program lumbung desa dan sekolah desa, Soenarto juga sangat memerhatikan nasib rakyatnya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Untuk mendukung pertanian warganya, Soenarto memberikan bantuan bibit dan pupuk. Warga baru membayarnya nanti jika sudah panen.